HUBUNGI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN - RI
JIKA ANDA MERASA TIDAK AMAN DENGAN MENGKLIK .....
JIKA ANDA MERASA TIDAK AMAN DENGAN MENGKLIK .....
D E S K R I P S I
Gagasan untuk menghadirkan undang-undang perlindungan saksi dan
korban dimulai pada tahun 1999, di mana beberapa elemen masyarakat mulai
mempersiapkan perancangan undang-undang perlindungan saksi. Hal ini
kemudian disusul dengan adanya naskah akademis tentang undang-undang
perlindungan saksi dalam proses peradilan pidana. Naskah akademis ini
kemudian menghasilkan RUU perlindungan saksi.
Selanjutnya, tahun 2001 undang-undang perlindungan saksi diamanatkan
untuk segera dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR No. VIII Tahun 2001
tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme. Juni 2002 Badan Legislasi DPR RI mengajukan RUU
Perlindungan Saksi dan Korban yang ditandatangani oleh 40 anggota DPR
dari berbagai fraksi sebagai RUU usul inisiatif DPR.
Indonesia meratifikasi UN Convention Against Corruption pada tahun
2003. Dalam pasal 32 dan 33 konvensi ini disebutkan bahwa kepada setiap
negara peratifikasi wajib menyediakan perlindungan yang efektif terhadap
saksi atau ahli dari pembalasan atau intimidasi termasuk keluarganya
atau orang lain yang dekat dengan mereka. Awal 2005 Rencana Aksi
Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK) yang disusun oleh Bappenas
menjadwalkan pembahasan RUU Perlindungan Saksi pada triwulan kedua 2005.
Februari 2005 Rapat Paripurna ke 13 DPR RI Peridoe 2004-2009, telah
menyetujui Program Legislasi Nasional. Salah satu RUU yang
diprioritaskan untuk segera dibahas adalah RUU Perlindungan Saksi.
Sepuluh fraksi di DPR RI memandang bahwa RUU Perlindungan Saksi memiliki
peran strategis dalam upaya penegakan hukum dan memciptakan
pemerintahan yang bebas dari korupsi.
Akhirnya Juni 2005 RUU Perlindungan Saksi dan Korban disampaikan
dalam surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden. Lalu,
tanggal 30 Agustus 2005 Presiden mengeluarkan surat penunjukan wakil
untuk membahas RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menugaskan
Menteri Hukum dan HAM mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU
tersebut. Januari 2006 pemerintah yang diwakili Departemen Hukum dan HAM
menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah, tentang RUU Perlindungan
Saksi dan Korban kepada DPR RI. Awal Februari 2006 komisi III DPR RI
membentuk Panitia Kerja yang terdiri dari 22 orang untuk membahas RUU
Perlindungan Saksi dan Korban. Pada bulan Juli 2006, Rapat Paripurna DPR
RI akhirnya mengesahkan RUU Perlindungan Saksi dan Korban menjadi UU
Perlindungan Saksi dan Korban. Sepuluh fraksi di DPR RI mendukung
keberadaan UU tersebut. 11 Agustus 2006 Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64). Salah satu
amanat yang ada dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban ini adalah
pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dibentuk
paling lambat setahun setelah UU Perlindungan Saksi dan Korban disahkan.
Dalam perkembangan selanjutnya, LPSK dibentuk pada tanggal 8 Agustus
2008. Di dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa LPSK
adalah lembaga yang mandiri namun bertanggung jawab kepada Presiden.
Disebutkan pula bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah
lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan
hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang. Ruang lingkup perlindungan ini adalah pada semua tahap
proses peradilan pidana. Tujuan Undang-undang ini adalah untuk
memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan
keterangan dalam proses peradilan pidana.