Membaca Tulisan Bapak Moh Mahfud MD tentang “Masih Birokrasi Tong
Sampaih Juga” 05.11.2011, memang kami di masyarakat sungguh merasakan
kebenarannya dari tulisan tersebut.
Bahkan menurut saya lebih dari itu, karena didunia pendidikan di level bawah (management sekolah) pungutan yang dilegalkan dinas ataupun melalui dalih sukarela untuk melakukan pungutan, ter utama pada sekolah negeri unggulan (SSN atau RSBI), disana penerimaannya masuk ke Rekening bank a/n pribadi pejabat sekolah atau rekening pribadi komite sekolah, atau penerimaan dana dari masyarakat tidak disetorkan ke bank tapi dipergunakan secara langsung. Hal ini jelas – jelas melanggar aturan.
Bahkan menurut saya lebih dari itu, karena didunia pendidikan di level bawah (management sekolah) pungutan yang dilegalkan dinas ataupun melalui dalih sukarela untuk melakukan pungutan, ter utama pada sekolah negeri unggulan (SSN atau RSBI), disana penerimaannya masuk ke Rekening bank a/n pribadi pejabat sekolah atau rekening pribadi komite sekolah, atau penerimaan dana dari masyarakat tidak disetorkan ke bank tapi dipergunakan secara langsung. Hal ini jelas – jelas melanggar aturan.
Peraturan Pemerintah Nomor 48/2008 tentang pendanaan pendidikan pada
pasal 52 b,c telah mewajibkan agar dukungan dana dari masyarakat
tersebut disetorkan lebih dulu ke Rekening atas nama satuan pendidikan,
yang berarti “Lembaga sekolah” dan bukannya a/n pribadi pejabat.
Kalo disetor kerekening pribadi dapat dikategorikan penyuapan pada pejabat publik, atau jika Komite Sekolah melakukan tindakan operasional/membuat program untuk kepentingan di sekolah negeri dengan memungut kepada masyarakat untuk biaya pendidikan walau atas nama sekolah tanpa memasukan dalam Anggaran Sekolah maka dapat dikategorikan sebagai swastanisani lembaga publik, dan hal tersebut juga dilarang. Karena Penanggung Jawab lembaga publik adalah pejabat publik. Dan komite sekolah bukanlah pejabat publik, mengingat peran komite terbatas pada aktivitas saran/advis, jembatan, control dalam bentuk pemantauan atau mengetahui (dan bukan menyetujui), member dukungan support / menyerahkan semua kegiatan pada lembaga publik, dan bukannya “menjadi tukang belanja”.
Kalo disetor kerekening pribadi dapat dikategorikan penyuapan pada pejabat publik, atau jika Komite Sekolah melakukan tindakan operasional/membuat program untuk kepentingan di sekolah negeri dengan memungut kepada masyarakat untuk biaya pendidikan walau atas nama sekolah tanpa memasukan dalam Anggaran Sekolah maka dapat dikategorikan sebagai swastanisani lembaga publik, dan hal tersebut juga dilarang. Karena Penanggung Jawab lembaga publik adalah pejabat publik. Dan komite sekolah bukanlah pejabat publik, mengingat peran komite terbatas pada aktivitas saran/advis, jembatan, control dalam bentuk pemantauan atau mengetahui (dan bukan menyetujui), member dukungan support / menyerahkan semua kegiatan pada lembaga publik, dan bukannya “menjadi tukang belanja”.
Kurangnya sosialisasi apalagi implementasi atas PP 19/2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, PP 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan,
PP 17/2010 tentang pengelolaan pendidikan dan penyelenggaraan
pendidikan, dapat dilakukan secara baik, terutama mencegah adanya
konflik atau penelikungan Sekolah terhadap Komite Sekolah, karena jelas
sudah dilarang adanya jabatan bendahara komite. Dan guru sebagai PNS
dilarang terlibat dalam organisasi ini Pasal 197 (4), dan jika
terlibat maka Guru/PNS adalah melanggar Tugas Pokok dan Fungsi sebagai
pejabat publik dan tersebut perlu dipertanyakan jika atasannya
menyetujuinya. Perlu diingat bahwa diwaspadai jabatan bendahara dan
guru sekolah selama ini banyak digunakan sebagai instrument pemungutan
dana.
Tawuran pelajar, atau kekerasan lain di dunia pendidikan bisa juga diakibatkan karena management pendidikan tidak baik.
Dan peningkatan mutu pendidikan tidak sebanding dengan biaya yang
dikeluarkan kemungkinan karena politik anggaran tidak lebih dekat
pada fungsi tetapi lebih pada birokrasi. Dan bila diperhatikan saat ini
management pendidikan lebih berkutat pada prosedur pencairan dana BOS
(biaya operasional sekolah) daripada optimalisasi fungsi peningkatan
kualitas dan demokratisasi pendidikan.
Jika Sekolah SMPN dan SMAN yang berstatus SSN/RSBI pada penerimaan
tiap sekolah awal tahun sebanyak 200 – 300 siswa dimana terdapat dana
sumbangan yang biasanya disebut SAB (sumbangan awal siswa baru)
berkisar Rp. 2.500.000,- sampai Rp. 10.000.000,--- dan dukungan
rutin bulanan yang diperhitungkan kepada seluruh kelas berkisar Rp.
150,000, - s/d 750.000,-- maka sudah berapa banyak dukungan yang
dilakukan oleh masyarakat terhadap pendidikan berstatus negeri, dan hal
ini tidak pernah dihitung dan dilaporkan oleh Depdiknas kepada publik,
dan pengawas fungsional hanya membatasi pada sumber dana rutin dari
pemerintah. Dan sebab lain adalah uang dari masyarakat tidak masuk
lebih dulu dalam rekening lembaga atau tidak masuk dalam Anggaran
Sekolah.
PARA PEJABAT YANG MENGELOLA PENDIDIKAN TOLONG TUNJUKKAN ADAKAH PRESTASI
DAN EFISIENSI DALAM PENGELOLAAN PENDI[/SIZE]DIKAN DITEMPAT ANDA ????
DANA PENDIDIKAN MELIMPAH TIDAK DIHARAPKAN MENJADI INTRUMENT
P-PENGEMBALIAN PENGEMBALIAN DANA POLITIK ATAUPUN KEPENTINGAN PEMILU.
Melihat kondisi tersebut maka birokrasi tong sampah tidak hanya
menampung kickback, tetapi masyarakat sudah seperti kuda sado dengan
kusirnya birokrasi yang gemar menghardik dimana anak anak di umpan untuk
eksploitasi.
“SIAPA MAU MEMBANTAH ATAU MEMBENARKAN DENGAN CONTOH KONGKRIT”
Demikian sebagai renungan bersama.
MASYARAKAT PEDULI PENDIDIKAN
0 komentar:
Posting Komentar