Belum lama ini Saya menyaksikan tayangan
film di layar televisi, film jedar-je-dor yang Saya suka. Ceritanya
mudah dicerna, apalagi untuk ukuran manusia seperti Saya, yang disodori film Matrix
terus ngeloyor pergi
meninggalkan Televisi (TV) setelah kira-kira empat puluh lima menit ditayangkan,
gara-gara ndak mudeng sama sekali. Dengan tingkat intelektualitas kocrot
itu, yaa... paling enak menyaksikan film jedar-jedor atau roman.
Meminjam istilah teman Saya, roman yang
picisan. Saya terima saja karena kenyataannya Saya memang demikian meski
sungguhnya teman Saya itu malah sedang menjalankan petualangan cintanya yang
picisan juga.
"Yooo... bedo tho no. Sana layar lebar, sini punya kan kenyataan. Bagaimanapun picisannya,
ya... bedo no. Ruwet dan membuat mumet, sampai jadi kerasa ndak picisan,"
katanya menjelaskan.
Saya yang mendengarnya ya... manut saja.
Meminjam istilah teman Saya yang lain. "Aaaaatur... saja."
Pengecut
Di salah satu adegan dalam film di layar
televisi itu, si penjahat lari menghindari tembakan sang penegak kebenaran
alias pak polisi.
"Ooo... menegakkan saja, ya? Belum
tentu menjalankan toh?" celetuk teman Saya.
"Waaah..., kalau begitu, aku yo
iso. Cuma menegakkan saja tho, gampang," lanjutnya. "Lha
wong menegakkan yang lainnya saja Saya bisa kok," tambahnya lagi.
Saya menegurnya untuk tidak menyelak
cerita Saya. "Oh..., maap, maap. Terus, terus...," balas-nya.
Kemudian Saya melanjutkan cerita itu. Si
polisi gagal menembak si penjahat karena ia berlari di antara kerumunan orang
banyak yang sedang berseliweran. la terlepas dari peluru yang diarahkan
kepadanya karena sang penegak kebenaran (dan sedang menjalankan kebenaran) tak
berani mengambil risiko kalau-kalau pelurunya malah menghujam salah satu manusia
yang sedang berseliweran itu. Jadi, si penjahat terlepas dari maut dengan
menggunakan manusia berseliweran itu sebagai tameng perlindungannya.
la cerdik. Namun, ada suara di nurani Saya
yang berdendang. Si penjahat memang cerdik, tetapi (seperti Yahudi saja) ia
sangat egois dengan meminta perlindungan orang lain untuk menyelamatkannya.
Dan, yang terutama, ia cuma berani jadi penjahat, tetapi tak berani membayar
harga sebagai penjahat. la minta orang lain membayarnya (Emang Yahudi udah
kikir serakah lagi).
Dan, itulah Mungkin Anda. Si penjahat
cerdik sekaligus pengecut itu. Kini Saya mengerti mengapa saat Saya melihat
adegan itu nurani Saya seperti disinggung. Tampaknya Saya sedang diperlihatkan
bagaimana Kita hidup selama ini. Bukan hanya mencari perlindungan dari orang
lainnya, tetapi masalah yang lebih fatal, Kita tak berani membayar harga untuk
apa yang Kita perbuat. ; Kita mau menabur kejahatan, tetapi malas menuai
hasilnya. "Hari gini, minta tolong orang saja ya, bo" celetuk
teman Saya. Saya mengingatkan sekali lagi untuk tidak lagi menggunakan kata ba,
bo, ba, bo.
"Take and
(never) give"
Contohnya Kita memesan Rakitan Komponen Komputer
di salah satu Pemilik Toko Komputer. Kita minta tolong diselesaikan dalam waktu
tidak terlalu lama karena Kita membutuhkannya untuk membuat tugas yang
sebenarnya bukan dadakan. Hanya saja, Kita lupa memasukkan ke dalam agenda dan
pada dasarnya Kita kadang memang manusia pelupa. Sang Pemilik Toko Komputer menyelesaikan
sesuai dengan jadwal yang Kita kehendaki. Masalahnya kemudian, Kita tidak
membayar saat Rakitan Komponen Komputer pesanan itu selesai.
Dengan sejuta alasan, Kita baru membayar
akhir bulan. Kita memaksa orang lain menyenangkan Kita, tetapi Kita sama sekali
tak berkeinginan membayar harganya dan menyenangkan orang lain (emang Yahudi
Loe..!!!).
Sama seperti penjahat dalam film itu, Kita
egois. Kita tak pernah mau melatih diri berpikir bagaimana seandainya Kita
yang giliran jadi Pemilik Tokonya. Kita tak pernah bercita-cita terpikirkan pun
tidak untuk punya gaya hidup memberi (give) dan
menyenangkan orang, tetapi Kita selalu memelihara gaya hidup mengambil (take). Barang Sendiri Dipeliti, punya orang dimaui
“kikir dan serakah, ghitu….”.
Dan, dengan Saya sebagai Professional komputer,
sang Pemilik Toko hanya berkata, "Ndak papa, Mas. Bener gak
papa."
Kejadian seperti itu juga terjadi bila Kita
berbisnis dengan orang lain. Terutama saat bicara soal pembayaran, Kita selalu
minta keringanan. Kalau bisa, bayar dua kali, dua bulan, dua tahun, bahkan
berutang. Namun, kalau terlambat Menjahit Baju Bola, misalnya, Kita bisa berteriak
seperti orang yang membayar tepat waktu. Kita sampai lupa akan rasa malu.
"Memang sana
punya kemaluan?" singgung teman Saya.
Bersama teman-teman, Kita sedang
mempersiapkan 'bisnis ecek-ecek. Bahkan Kitalah yang paling bermulut besar akan
menjadikan bisnis ini begini dan begitu. Harus buat ini dan buat itu, harus promosi
ke- sana-kemari. Tiba saatnya semua harus dilaksanakan, Kita lupa pembicaraan
mulut besar itu berujung duit dan kerja keras. Terpaksa kemudian dibekukan
sementara waktu karena Kita malas membayar harga untuk mengeluarkan dana
terlalu banyak dan harus ke sana-kemari. Janji tinggal janji…..Capee dech….
"Macet, panas, terus mesti jualan
pula. Malaslah yaao...," sindir teman Saya. Apa boleh buat, saya hanya
mengangguk saja.
Kita mengaku sebagai umat Beragama, tetapi
malas membayar harga dengan sejuta dos
and don'ts-nya yang terdapat dalam buku suci nan tebal itu. Terus, paling
gampang Kita akan katakan, Kita manusia
biasa, penuh dengan kelemahan. Kita memang manusia biasa. Biasa tak mau membayar harga dan biasa
melemahkan diri, maksudnya. Itu mengapa Kita susah mengasihi musuh Kita,
apalagi diperintahkan berdoa untuk mereka yang menganiaya Kita. Padahal, ajarannya
demikian. Kita malas membayarnya. Terlalu mahal. Kita tak kuat kemahalan. Mau
pakai kartu kredit lebih dari platinum pun tak terbayarkan.
Kita mau minta perlindungan pihak lain
(baca: Sang Khalik), tetapi Kita tak pernah berkeinginan memiliki gaya hidup seperti yang
diingini-Nya.
Di tengah segala kejahatan Kita, cita-cita
masuk surga tak pernah hilang. "Sana
maunya masuk surga, tetapi enggak mau jadi manusia taat. Maksudnya?" tanya
teman Saya.
"Maunya sesuai sama jidat lo saja,
sih. Ya, tak?" lanjutnya lagi. Acara ceramah A.A.Gym biasanya adalah acara
favorit Kita bahkan sampai sebelum acara favorit itu berlangsung, Kita masih
bisa melakukan dosa, supaya bisa dirapel semuanya, terus jadi merasa
"bersih" lagi dan terus buat dosa lagi sekeluar dari halaman rumah
ibadah karena sudah ada ruang kosong untuk tempat dosa.
"Flashdisssk... kali," celetuk teman Saya.
1. Saya diingatkan salah
satu klien Saya, bila mau berbisnis, harus dipikir masak-masak. Maksud Kita
bukan masak bisa, masak susah, masak gitu sih. Maksudnya pikirkan matang-matang,
terutama harga yang harus Kita bayar saat memutuskan memulai bisnis. Katanya
lagi, jangan mengejar obral janji. Kalau Kita tak mampu dari awal
mernbayar harganya, jangan coba-coba "berutang".
2. Nasihat kedua dia,
jangan jadi pengecut. Kata dia, kalau Kita mau terjun dengan benar dalam
bisnis, jangan setengah-setengah. Itu sama dengan perkawinan, katanya. Kalau Kita
sudah memutuskan menikah, berbesar hatilah menanggung segala risikonya. Jangan
susah sedikit terus mau selingkuh atau mau cerai. la malah mengingatkan janji
sehidup semati dalam susah dan senang.
"Lo janjinya sama Tuhan, Iho," katanya.
"Jangan cuma mau hartanya saja," lanjutnya menasihati.
Wah... memang Kita senang sekali dengan
nasihatnya yang kedua ini. Pertama, sebagian dari Kita umumnya belum pernah
memutuskan menikah. Terpikirkan saja tidak. Terlalu malas membayar harganya.
Kedua, berjanji sehidup semati pun belum pernah juga. Yang pernah, malah Kita
hidup dan orang lain mati.
"Benar juga ya, Yung. Seekor anjing,
artinya cuma satu anjing. Jadi, sehidup, cuma satu yang hidup. Waduh... lo
emang pinter banget, deh. Ngomong-ngomong, otaknya buatan mana,
Mas?" celetuk teman Saya.
3. Nasihat terakhir dari klien
Kita itu adalah jangan menyuruh orang lain membayai harga yang seharusnya
menjadi tanggung jawab Kita.
"Itu kurang ajar namanya,"
katanya. Kita lalu bercerita, Kita sedang mau belanja, uang tak ada, kemudian
memakai kartu kredit. Jadi, Kita mau gaya,
tetapi orang lain yang disuruh bayar duluan. Akhir bulan baru Kita bayar.
"Belum tentu. Malah mungkin lo cuma
bayar batas minimumnya," katanya lagi. Teman Saya dari perbankan nye-letuk,
"Karena itu, kami ada untuk Anda."
4. Beberapa hari lalu Saya dinasihati
Guru Akrab saya dulu waktu Sekolah, Kalau seseorang membayar harga, artinya
sesuatu harus dikeluarkan, baik berupa uang ataupun tindakan Dengan membayar
itu Kita akan menerima kembali apa yang sudah Kita keluarkan.
"Kalau lo berutang, misalnya,
dan lo berniat mengembalikan, lo akan merasa lega. Perasaan lega
itu adalah imbalan yang kembali ke lo dan orang akan memberi penilaian
bahwa lo orang yang bisa dipercaya," katanya menjelaskan.
Apabila Kita tak mau membayar harga, jadi Kita
menahan uang atau tindakan yang harus Kita keluarkan, maka imbalan yang baik
tak akan datang kepada Kita. "Kalau lo enggak bayar utang, maka
bank atau debet collector akan mengejar lo," katanya lagi.
Jadi, menurut dia, dengan satu kalimat
disimpulkan demikian. “Give and you will be given” DENGAN MEMBERI, MAKA KAMU AKAN DIBERI.
0 komentar:
Posting Komentar