Budaya Memelas dan Memeras Tumbuh Subur Tanpa Mampu Dicegah
Ah, ini hanya sekedar celotehan anak manusia yang penuh pertanyaan dalam
hidupnya. Anak manusia yang datang dari sebuah kampung kecil, beranjak
dewasa di sebuah kota kecil pula, lalu menimba ilmu sampai ke luar
negri, dan akhirnya pulang kampung untuk hidup di kota besar. Di dalam
kehidupannya ia berulangkali menjumpai kemirisan dalam hidup, serta
selalu bergulat dengan pergulatan hidup dengan rasionalitas alamiah:
Jatuh bangun. Suka duka. Susah senang. Di atas di bawah. Depan belakang,
dan masih banyak lagi. Ah, penuturan yang mungkin akan dibalas dengan
satu kata—Klasik.
Memang hidup ini sangat klasik. Pengulangan
peristiwa demi peristiwa yang sama masih saja terus terjadi. Kalaulah
itu bernilai positif betapa bagusnya ia. Tapi, tunggu dulu! Bagaimana
bila itu bernilai negatif? Kalau begitu, betapa berbahagianya dan
beruntungnya seekor keledai karena punya banyak kawan yang mau saja
jatuh ke dalam lubang yang sama berulang kali. Tapi itulah hidup, untung
selalu dapat diraih dan malang pasti bisa ditolak. Kenapa Anda
meolotot? Salah? Oh iya, Anda benar, seharusnya ungkapan yang betul
adalah untung tak mampu diraih tapi malang tak juga pernah bi
sa ditolak….waduh, parah kalau sudah seperti itu! Sial melulu dong hidup ini.
sa ditolak….waduh, parah kalau sudah seperti itu! Sial melulu dong hidup ini.
Anak manusia tadi itu kemudian dalam perkembangan
hidupnya belajar tentang budaya, ekonomi, dan politik. Dan betapa
parahnya ketika ia menemukan sebuah falsafah dunia politik, yang entah
dari mana asalnya “Kekuasaan memang tidak boleh menjadi mutlak, tapi
pemegang kekuasaan mestilah dimutlakkan”. Wow, betapa hebatnya. Tidak
jauh beda dengan falsafah ekonomi yang juga entah dari mana dapatnya:
“Keuntungan adalah sebuah kemestian dan kepastian, oleh karenanya
kerugian itu haram hukumnya.” Makanya
jangan heran kalau mereka berusaha mendapatkan untung yang
sebesar-besarnya tapi dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya, kalau
perlu nol (baca: tiada) pengeluaran. Rakus benar yah?
Budaya Memelas
Pejabat dan penguasa jaman sekarang mestinya
memahami betul mengenai ‘budaya memelas’ itu. Wah, jangan dipikir bahwa
yang bisa serta biasa memelas hanyalah anak-anak pingir jalan,
peminta-minta, pengemis jalanan, dan orang-orang tertindas lainnya.
Salah besar kalau kita pikir pemerintah, pejabat publik, dan para
penguasa itu tidak punya jurus memelas. Mereka boleh angkuh secara
jabatan, arogan, dan tegas dalam tindakan. Tapi kalau sudah kepepet maka
muncullah budaya memelas itu.
Memelas kok disebut budaya? Lha, Anda pikir apa sih budaya itu? Segala sesuatu yang sudah terbiasa dan selalu berulang.
Itu istilah dan sebutan saja. Contohnya, ada kebiasaan yang sudah
membudaya. Kebiasaan terlambat menjadi begitu membudaya sampai-sampai
kalau suatu ketika kita nggak
terlambat malah akan disambut dengan ‘kok tumben-tumbennya?’ Ah, miris
memang. Kembali ke soal melas-memelas. Sepertinya kebiasaan itu akan
muncul pada saat-saat tertentu. Memelas dalam keadaan kepepet memang
sudah membudaya. Dan itu juga dilakukan oleh kebanyakan dari para
pejabat publik kita.
Bagaimana mengetahui ciri-ciri tindakan memelas
untuk mencapai tujuan itu sudah dilaksanakan? Mungkin saja mereka tidak
sadar kalau apa yang mereka lakukan adalah tindakan memelas. Tidak
kentara, tapi terang benderang: Dengan menyuap, menyogok, dan membayar
mahal. Silahkan Anda lihat para pemimpin yang hendak mempertahankan
kekuasaan, seberapa pun besarnya uang yang harus mereka ‘korbankan’
menjadi tidak masalah lagi, yang penting dapat terpilih. Ini cara-cara
atau tindakan memelas para pejabat. Mereka berani membuang rasa malu
asal tujuan tercapai. Atau lihatlah ‘kejadian-kejadian aneh’ yang
menunjukkan betapa orang yang keras, arogan, berkuasa pun akhirnya
menggunakan tindakan pemelasan karena sudah benar-benar merasa dirinya
berada pada posisi kepepet.
Terlihat jelas, misalnya saja sudah begitu lama
menjabat dan jadi pejabat, tapi hal-hal baik tidak pernah dilakukannya,
lucunya ketika masa jabatan sudah mau habis, semua daya upaya dipakai
untuk terlihat ‘sementara berbuat kebijakan dan kebajikan yang baik’.
Orang Barat bilang, “It’s to late babe!”
Orang-orang sakit mulai dibantu secara mendadak, anak-anak putus
sekolah dibantu secara tiba-tiba. Jalan yang sudah rusak dan berlubang
selama bertahun-tahun tiba-tiba menjadi mulus dan licin seketika. Ada
apa ini? Nggak usah tanyalah, ini tentu saja upaya memelas tingkat tinggi. Sederhananya orang-orang tersebut pengen bilang seperti ini, “Ini loh, saya sudah kasih kalian uang, jalan bagus, kesehatan gratis tapi kalian mesti pilih saya yah.” Atau pejabat-pejabat itu hendak bilang, “Nih gue kasih semua yang kalian butuhkan, tapi pilih gue dooong…” Mereka
terpaksa harus memelas demi merebut suara. Apa bedanya dengan seorang
kakak yang memberikan permen kepada adiknya yang tak mau berhenti
menangis, “Ini kakak kasih permen, tapi diam dong ya…jangan nangis lagi…”
Karena putus asa sang kakak membujuk dengan cara memelas. Bujuknya
pakai permen. Hal mana terlihat sangat mustahil dilakukan oleh sosok
penguasa atau pejabat tegar, keras, dan tak pedulian. Kecuali…….ya itu
tadi kecuali lagi berada dalam posisi kepepet……
Budaya Memeras
Nah, ini lain lagi. Ciri-cirinya juga lain. Kalau
yang memelas biasanya dan kebanyakan tertuju kepada masyarakat umum, dan
dari kalangan mana saja termasuk kepada masyarakat paling miskin
sekalipun, maka ‘budaya memeras’ tertuju kepada sebagian penguasa di
tingkat lebih atas lagi. Mereka memeras kawan sejawat maupun atasan atau
pimpinan.
Kalau sudah kepepet bagaimana caranya seorang
pejabat publik melancarkan budaya memeras terhadap sesama pejabat
lainnya termasuk bahkan pada atasannya?
Modusnya terlihat jelas kok. Begini, lihat saja
kalau ada reaksi-reaksi takut dari para atasan terhadap bawahan, bisa
jadi ia sudah diperas. Artinya kalau pejabat dengan jabatan yang lebih
tinggi takut, segan, manut-manut terhadap pejabat dengan tingkatan di
bawah dia (anak buah), berarti ada apa-apanya. Dan ingat juga, pemerasan
tidak melulu soal uang. Hak suara bisa diperas, ketegasan jadi gampang
diperas, kekuasaan pun dapat diperas. Misalnya saja, “Eh elo mesti pilih dan dukung gue yah, awas loh kalo sampe nggak, daftar dosa-dosa elo bakalan gue buka ke sana sini”.
Daya peras di lingkungan kekuasaan itu sangat kental. Pejabat-penjahat
saja bakalan berani untuk teriak “silahkan gantung saya di atas pohon
cabe kalau terbukti bersalah!” Tapi karena memiliki daya peras kuat,
atasannya pun dibuat kayak orang kepedesan abis makan cabe, nggak tau mau ngapain lagi.
Banyak celah memungkinkan yang menyebabkan budaya
memeras ini bebas untuk bertumbuh dan bertambah secara leluasa. Para
pejabat pun rela membiarkan harga diri mereka tergerus karena diperas
dan terus diperas entahkah secara halus atau kasar. Secara
terang-terangan atau tersamar. Satu hal yang pasti, kalau kebiasaan yang
membudaya itu terus dibiarkan, maka hampir dapat dipastikan bahwa
lingkungan pemerintahan dan kekuasaan tidak bakalan bertumbuh dan
berkembang secara sehat. Tidak akan pernah lahir pemimpin-penguasa
idealis dari lingkaran pemeras tersebut. Yang ada hanya mimpi buruk dan
kenyataan pahit. Realitas untung tak dapat diraih sementara malang tak kuasa ditolak tetap menjadi milik masyarakat bawah. Bagaimana tidak, pejabat dan penguasa hanya memikirkan diri sendiri. Ah, betapa memilukan dan memalukan.
“Kalau tidak melas ya meras….Memelas dan memeras bisa jadi senjata pamungkas”
Akhirnya, saya kutipkan kalimat dari kawan sekampung anak manusia pada cerita pembuka di atas tadi, “Friend,
fokoknya kalau dalam keadaan kefefet, afafun bisa jadi mungkin.
Walaufun dengan harus ilang kemaluan (rasa malu) dan harga diri. Tapi
kalian tidak usah heran, melainkan bilang saja okelah kalau begitu….”
Michael Sendow. Kompasiana
1 komentar:
Realitas untung tak dapat diraih sementara malang tak kuasa ditolak tetap menjadi milik masyarakat bawah
Posting Komentar