Oleh
:
YAN
SALAM WAHAB
LSM Talago Batuah |
Kiranya yang jadi soal adalah:
bagaimana kemitraan yang ideal antara pemerintah dan LSM itu? Saya sendiri
pernah mengusulkan biarlah LSM mengatur dirinya sendiri, misalnya lewat sebuah
kode etik. Dengan begitu keberadaan LSM tak perlu duatur Keppres, karena telah
dinaungi Undang-undang (UU N0 4/1982). Dengan kata lain masalah eksistensi LSM
tak perlu dipermasalahkan. Maka kalaupun ada yang perlu diatur lebih pada
masalah kemitraan, jelasnya soal peran sertanya dalam proses pembangunan di
atas.
Untuk "mengatur"
kemitraan LSM-Pemerintah ini pun sebenarnya tidak terlalu pelik. Kita bisa
mengacu pada tingkat global, bagaimanakah lembaga pemerintah global, yakni
Perserikatan Bangsa-bangsa, memandang LSM?
Sejak lahir PBB sudah mengakui
keberadaan LSM. Pasal 71 Piagam PBB memandatkan, "The economic and Social
Council may make suitable arrangements for colsultation with non-govermental
organization which are concerned with matters within its competence".
Untuk mengimplementasikan mandat Pasal 71 ini, ECOSOC badan PBB yang berwenang
untuk itu, membentuk Komite LSM (Commite on NGO). Dalam kamus para diplomat PBB
sektor LSM ini biasa dikenal sebagai non-state actor.
Dalam perkembangannya
kemudian, dengan keluarnya Resolusi 1296 tahun 1968, ECOSOC telah menyusun
suatu mekanisme konsultatif bagi LSM dalam tubuh PBB. Tidak saja untuk ECOSOC
sendiri melainkan juga bagi badan-badan lainnya. Dalam mengatur proses
konsultasi, di mata PBB, LSM di bedakan dalam tiga kategori status. Kategori I
adalah LSM-LSM yang berkaitan dengan sebagian besar agenda ECOSOC. Mereka
diberi hak untuk mengajukan pernyataan tertulis, mengusulkan agenda, dan
menyelenggarakan proses dengar pendapat. Kategori II adalah LSM-LSM yang
memiliki kompetensi khsusus tertentu, dan berhak mengajukan pernyataan tertulis
dan mengikuti proses dengar pendapat.
Sedangkan kelompok ketiga
memiliki kategori "terdaftar" yang berhak mengajukan pernyataan tertulis.
Ada persyaratan dan prosedur, tentu saja,
bagi LSM-LSM untuk mendapatkan status konsultatif itu. Comitte on NGO yang
mengatur sistem "akreditasi" ini, lewat sidang dua tahunannya. Dengan
kata lain status suatu LSM bisa berubah dari waktu ke waktu. Tetapi, yang
penting digarisbawahi di sini, adalah disini tidak adanya pandangan bahwa
aktor-aktor non-state itu berarti oposan. Terutama dalam hubungan
internasional, interaksi terjadi saat ini memang tidak lagi terbatas antar
negara saja demi kepentingan nasional masing-masing melainkan sesungguhnya
antar kepentingan. LSM-LSM dianggap mewakili suatu kepentingan tertentu bagi
seluruh bangsa, bukan kepentingan tertentu suatu negara atau golongan tertentu
saja. Saat ini sekitar 1500 LSM ada dalam daftar konsultatif PBB.
Pada dekade terakhir ini
hubugan LSM-lembaga PBB itu juga makin meningkat. Boleh dikatakan bahkan
melewati mandat Pasal 17 maupun Resolusi 1296. LSM secara lebih nyata makin
terlibat di dalam proses pengambilan keputusan juga dalam sistem multilateral,
termasuk dalam konferensi-konferensi PBB di tingkat global. Dua konferensi
global mutakhir yang banyak melibatkan LSM misalnya adalah KTT BUMI, di Rio
tahun 1992 lalu dan KTT Kependudukan di Kairo yang berlangsung barusan ini
(September 1994). Pendeknya keterlibatan LSM setidaknya telah merambah dua
aspek dalam sistem pemerintahan: kegiatan operasional dan advokasi kebijakan.
Isu dan persoalan yang
melibatkan LSM juga praktis tidak lagi terbatas mulai dari peningkatan peran
wanita, perlindungan lingkungan hidup, hakasasi, pengentasan kemiskinan,
penyalahgunaan obat, perlindungan anak,
sampai soal perang dan
perlucutan senjata. Dengan kata lain, meskipun secara legal LSM dibatasi hanya
terkait dengan kegitaan ECOSOC, dalam praktek terkait dengan seluruh
badan-badan PBB. Karena itu, tak mengherankan, bila sekarang ini justru ada
upaya-upaya untuk meningkatkan partisipasi LSM itu ke tingkat lebih tinggi.
Lewat Resolusi No 80 tahun 193 telah dibentuk suatu Kelompok Kerja khusus yang
bertugas mengkaji ulang dan mengupdate Resolusi 1296/1968. Arah yang dituju
tampaknya adalah mengefektifkan peran LSM, terutama, dalam konferensi
internasional.
Apa yang bisa kita pelajari
dari keadaan ini?
LSM sepatutnya tidak dilihat
dengan kacamata negatif saja. Mas Dawan Rahardjo, dalam kolomnya Tiga Dasar
Teori tentang LSM (Republika, 9/11) sudah menguraikan bagaimana sebaiknya kita
melihat dan menempatkan LSM itu. Kalau sekarang ada hal-hal yang dirasa perlu
diatur maka usul saya adalah:
Pertama, untuk keberadaan LSM
biarlah LSM sendiri yang melakukan pengaturan diri sendiri, tidak perlu
di-Keppres-kan atau di PP-kan. Kedua, kalau masih mau mengatur juga, buatlah
aturan tentang mekanisme peran serta LSM. Dan belajar dari mekanisme PBB hal
ini dapat dipisahkan pada dua tingkat, pada tingkat operasional pelaksanaan
pembangunan dan pada tingkat perumusan kebijakan. Satu hal yang tidak boleh
dilupakan: libatkan peran serta LSM dalam menyusun mekanisme ke peran-sertaan
LSM ini.
0 komentar:
Posting Komentar