Oleh :
Yan Salam Wahab
Pada konteks permasalahan Judul diatas, teori modernisasi yang mensyaratkan adanya kondisi stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, merupakan pilihan pemerintah dalam menetapkan model pembangunan Daerahnya. Ciri yang menonjol didalamnya tetap berfokus pada stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian ada pergeseran atau kekurangan pada segi pemerataan. Sehingga, aspek pemerataan pun menjadi karakteristik yang menonjol dalam rencana pembangunan pada beberapa dekade terakhir.
Markas KODIM/0417 Kerinci
Tempo Doeloe
|
Karena model
pembangunan Kabupaten Kerinci yang bertumpu pada prioritas pertumbuhan ekonomi,
maka sebagai konsekwensi logis dari semua ini, Kerinci dituntut untuk
berorientasi ke pasar yang mensyaratkan adanya kemampuan bersaing mencari
Keuntungan sebanyak-banyaknya.
Dan sebagai
akibat lainnya dari model perekonomian yang berorientasi pasar, telah
mengkondisikan para pelaku ekonomi di Kerinci tunduk pada persaingan.
Kencenderungan lahirnya persaingan bebas, menjadi relevan, jika disandingkan
dengan tuntutan dimilikinya kemampuan dan ketangguhan dari para pelaku ekonomi
ketika harus menunjukkan kediriannya. Kemampuan dan ketangguhan ini, tentunya
meliputi kualitas diri, kuantitas finansial, kualitas manajerial dan sebagainya
untuk selalu menjadi yang terunggul ditengah-tengah persaingan internal maupun
eksternal. Hanya mereka yang berkualitaslah yang selalu akan jadi pemenang dari
sebuah persaingan.
Dalam hal ini
realita yang tampak di Kota Sungai Penuh, khususnya pasar Sungai Penuh,
kesenjangan sangat jelas sekali tampak pada masyarakat. Terutama antara
masyarakat Asli dengan masyarakat Pendatang. Dalam hal ini, masyarakat
pendatang cenderung sebagai komunitas pemilik modal yang kuat, sedangkan
masyarakat asli tidak.
Para pemilik
modal kuat tentu terus akan meluaskan dan membesarkan keragaman lahan
bisnisnya, baik dengan memanfaatkan kemudahan fasilitas pemerintah atau melalui
kerjasama gabungan dengan sesama pemilik modal yang sudah kuat untuk memperkuat
daya saing (bahkan daya monopoli), merupakan kenyataan yang sulit dipungkiri.
Maka, makin meruyaklah pelapisan elit bisnis yang tidak merata. Disatu pihak,
tercipta elit bisnis yang makin membesar dan menguat, namun di sisi lain pengusaha-pengusaha
lemah makin disudutkan dan begitu kesulitan untuk memajukan usahanya.
Merupakan
sebuah Ironi, pengusaha-pengusaha besar yang sukses itu adalah hanya sebagian
kecil dan itu-itu saja yang selalu dapat tampil, sehingga mereka mampu menekan
dan mengendalikan pengusaha-pengusaha kecil yang lemah untuk tidak tampil
keatas arena penyaluran bisnis yang dikuasai oleh hanya beberapa kelompok.
Akibatnya, persaingan-persaingan yang semestinya didasarkan kepada kesungguhan
kualitas, berubah menjadi persaingan yang tidak sehat lagi.
Dalam pada
itu, hingga saat ini belum ada peraturan pemerintah yang memadai untuk
mengurangi atau mencegali praktek-praktek ekonomi yang secara esensial
bertentangan dengan kerangka normatif sistem perekonomian Daerah. Dan yang lebih
parah lagi, ada praktek-praktek bisnis yang mengeruk keuntungan yang berlimpah
ruah dari sebuah wilayah/daerah tertentu, namun daerah/wilayah itu sendiri
tidak memperoleh keuntungan yang berarti.
Padahal,
tidak sedikit lahirnya pengusaha-pengusaha besar atau para konglomerat itu
berkat fasilitas pemerintah seperti para kontraktor, yang notabene adalah hak
dan bagian yang sah dari kepemilikan rakyat Kerinci umumnya. Kalau begitu,
wajar, apabila para pengusaha besar berkewajiban untuk menyatakan terima kasihnya
kepada rakyat banyak melalui penciptaan kerjasama dan melibatkan partisipasi
rakyat.
Hal di atas
bisa dilakukan dengan berusaha memberikan peluang kepada rakyat kecil, baik di
sekitar kawasan industrinya atau usahanya berlokasi atau mungkin dalam jangkauan
wilayah yang lebih luas lagi untuk menjadi pemasok bahan baku atau
mengembangkan home industry yang memasok bagian-bagian tertentu dari sebuah
produk yang dihasilkan industrinya tersebut. Seandainya pola ini diterapkan
dengan kesungguhan dari semua pihak, langsung maupun tidak akan mendidik dan
memotivasi rakyat atau pengusaha-pengusaha kecil untuk menjadi wiraswastawan
sejati.
Disamping
itu, model pengembangan industri yang melibatkan potensi atau partisipasi
rakyat sekitar, dengan sendirinya akan menangkal terpusatnya industri dan
sumber keuangan di kota saja. Dengan makin menyebarnya pengembangan industri
yang melibatkan potensi sekitar, yang sebelumnya merupakan wilayah pinggiran
dan belum seimbang menikmati hasil pembangunan, akan terangkat dengan
sendirinya. Kondisi dan pengembangan model industri (jasa, manufaktur,
agrobisnis dan seterusnya) seperti dimuka selayaknya mampu juga dikembangkan
kedalam ukuran yang lebih menyeluruh. sebab, secara luas kita masih mempunyai
isue pembangunan yang terlalu memberat ke wilayah Sungai Penuh dan sekitarnya
saja, telah mengakibatkan kesenjangan pembangunan diwilayah Kabupaten Kerinci
lainnya (wilayah pinggiran).
Seandainya
gejala tadi tidak diperdulikan dengan perencanaan pembangunan yang
sungguh-sungguh melibatkan potensi dan hak perwilayah, kita khawatir masalah
kesenjangan sosial menjadi titik kritis bagi kelansungan pembangunan Daerah itu
sendiri. Apabila, fenomena umum yang kini masih mewarnai dinamika pembangunan
Daerah Kerinci, justru terletak ...........
..............pada kesenjangan penikmatan hasil pembangunan
antara desa dan kota. Sementara itu, kita semua memahaminya bahwa bagian
terbesar rakyat Kerinci berada di Desa.
Suatu hal
yang amat mungkin terjadi bila kesenjangan desa dan kota dibiarkan terus tanpa
penanganan yang serius, bukan mustahil rasa ketidakpuasan sebagian besar rakyat
Kerinci itu akan melewati ambang batas tak terkendali, maka akan menjadi
potensial bagi faktor pemicu perpecahan.
Oleh karena
itu, kearifan pemerintah dan para pengusaha besar untuk peduli terhadap
tantangan, yakni belum terjembataninya kesenjangan sosial selama ini,
sesungguhnya merupakan faktor kunci untuk menyelesaikan atau setidaknya
mengurangi jurang kesenjangan sosial tersebut.
Sejalan
dengan kesenjangan desa dan kota adalah makin meruyaknya jarak yang melebar
antara posisi lapisan bawah, menengah dan atas. Ketiga lapisan ini seolah-olah
merupakan bagian sendiri-sendiri dan terpisah satu dengan lainnya. Sebagai
konsekuensinya bisa dilihat secara jelas pada bidang garapannya yang nyaris tak
ada hubungannya sama sekali. Penulis merasakan sendiri bahkan tidak jarang ada
intervensi dari kalangan atas ke dalam sumber-sumber ekonomi lapisan bawah atau
menengah. Sehingga peluang bagi lapisan bawah untuk mempertinggi martabatnya
menjadi semakin sempit dan hampir tak tersisa.
Kalau kita
teliti secara langsung, pelapisan status sosial masyarakat yang tidak seimbang
tersebut, menciptakan pula jurang yang lebar antara si kaya dan si miskin.
Kesenjangan yang tetap melebar ini terlihat juga dalam pemanfaatan setiap
peluang mengembangkan diri seperti yang pernah penulis sendiri rasakan. Jadi,
bukan rahasia lagi kalau misalnya, fasilitas kredit bank yang senyogianya
diperuntukkan bagi lapisan bawah, tenyata banyak dinikmati oleh orang-orang
kaya atau pengusaha-pengusaha besar yang mengatas namakan golongan ekonomi
lemah. Dengan begitu, tidak mengherankan jika yang kaya makin terbuka
peluangnya untuk makin kaya. Sementara, yang lemah atau miskin, semakin tak
kebagian apa-apa. Atau, kalau kebagianpun hanya bagian terkecilnya.
Pencapaian
kondisi, sistem dan mekanisme ini, memang tidak semudah yang dibicarakan.
Apalagi, antara persoalan ekonomi dengan segala solusinya, bisa dipastikan tak
bisa dilepaskan dari persoalan format politik Pemerintah Daerah sendiri. Oleh
sebab itu untuk memudahkan terjembataninya kesenjangan sosial yang diakibatkan
oleh pertum-buhan ekonomi yang tidak merata, pasti memerlukan political will
dari supra struktur politik untuk segera membenahi problematika lanjutan dengan
segala akibat negatifnya dari masalah perekonomian yang ada sekarang,
Dalam hal
ini, kita tidak perlu malu untuk mengakui segala kekurangan yang ada, asal ada
kesungguhan untuk memperbaikinya di masa mendatang. Keterbukaan terhadap
kepentingan diatas memang makin terasa mendesak, dan tidak bisa ditunda-tunda
lagi. Sebab, dengan memperlambat penyelesaiannya, itu berarti mempercepat
ketidakpuasan dan kekecewaan rakyat pada titik yang mudah meledak.
Satu hal
yang tak bisa ditepiskan, kenapa dalam pembangunan daerah terdapat kecenderungan
dan realitas meruyaknya kesenjangan sosial adalah, pola dan pendekatan
pembangunan yang terlalu mengandalkan konsep dari atas ke bawah (top down).
Selama ini, ada kesan yang begitu kuat, inisiatif pembangunan lebih banyak
dipegang oleh pemerintah dengan melibatkan pula lapisan elit bisnis tertentu.
Sehingga, menjadi wajar, kalau tumbuhnya inisiatif membangun dari lapisan
rakyat banyak mengesankan lambat.
Memang sebuah
akibat yang tak terelakan. Rakyat lebih banyak menunggu instruksi. Sehingga menjadi
wajar pula, bila rakyat seperti lak sanggup memperbaiki nasibnya berdasarkan
peluang atau kesempatan menikmati kesempatan merasakan hasil pembangunan yang
sebenarnya sudah membesar. Jadilah, kesenjangan sosial pun makin melebar.
Oleh sebab
itu, untuk mempersempit kesenjangan sosial yang makin meruyak tersebut di masa
mendatang, para pengambil keputusan harus berani memperhitungkan kembali pola
pendekatan pembangunan yang selama ini berlangsung. Yaitu, dengan melalui pola
pendekatan dari bawah ke atas (bottom up) yang intensif.
Pendekatan
tersebut, sesungguhnya merupakan sisi lain dari sebuah upaya mewujudkan bentuk
demokrasi ekonomi. Di dalamnya ada perhatian yang proposional terhadap
kemampuan dan hak ekonomi rakyat Kerinci. Keberhasilan pemerataan dan keadilan
sosial ekonomi dengan cara bottom up, membutuhkan kesabaran dan perubahan yang
bersifat struktural maupun kultural. Konsekuensi ini harus diambil, kalau
memang, ada keinginan untuk merubah atau mengatasi kesenjangan sosial yang
melanda rakyat Kabupaten Kerinci.
Peran serta
rakyat dalam kaitan permasalahan diatas, dijadikan sebagai fokus sentral pelaku
pembangunan yang aktif. Dalam istilah lainnya, Potensi Ekonomi, Sosial dan
Politik Rakyat, benar-benar mendapat posisi yang menentukan dalam konstelasi
dan dinamika pembangunan Daerah Kerinci. Dengan harapan, tidak ada satu proses
pembangunan pun yang luput dari peran serta rakyat. Pada kaitan ini, rakyat
menjadi pelaku dan sekaligus penikmat hasil pembangunan di segala bidang.
Bila pola ini
berjalan efektif, bisa dipastikan, isu kesenjangan sosial tidak akan menjadi
permasalahan kritis. Sebagai kelanjutan pola ini, ada baiknya para pembuat
keputusan juga mempertimbangkan pendekatan yang diprioritaskan untuk memenuhi
kebutuhan pokok rakyat banyak. Bila hal ini tidak kita tanggapi secara positif
dan serius, maka untuk masa-masa yang akan datang kesenjangan sosial ini akan
dapat menjadi ancaman kerawanan gejolak sosial, dalam Masyarakat Kerinci.
0 komentar:
Posting Komentar